Sedikit-Sedikit Hijrah!?


 

Oleh: Andris Susanto
 
Untuk Beberapa waktu ke belakang 'Hijrah' telah menjadi salah satu kata yang cukup intens berkunjung di benak ini. Kalaupun sambil lalu dan peringkatnya turun naik tergantung postingan yang muncul di timeline, kata ini berhasil menembus top 10 chart kata tepopuler alam nalar untuk beberapa minggu terakhir. Belakangan memang sudah hampir keluar hitungan, tapi urutannya kembali meroket sesaat saya tengok banner aplikasi wajib di PC kantor.
"Hijrah to much better place!" Wow... What a wonderful words, I think!
Selidik punya selidik, ternyata ungkapan itu muncul berkaitan dengan cerita kepindahan kantor. Takjub sekaligus berkerut kening membacanya. Sedikit-sedikit hijrah!? Sekedar memperindah diksi atau memang hendak menjadikan hal tersebut tonggak pemutus keburukan menuju keadaan yang lebih baik, saya kurang paham.
Secara bahasa, hijrah bisa diartikan memutuskan, pergi, atau berpindah. Jadi, penggunaannya dalam konteks perpindahan tempat jelas tidak melangar hukum. Penggunaan tersebut sekedar peyorasi dari istilah hijrah dalam sirah nabawiyah.
“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Mengutip hadist di atas dan berkaca pada sejarah kepindahan Rosulullah SAW dari Mekkah ke Madinah yang disebabkan tidak kondusifnya mekkah untuk dakhwah dan ibadah, maka makna hijrah menjadi lebih khusus. Jika penulis diijinkan menyimpulkan, berikut poin-poin perihal hijrah yang bisa kita ambil:
1. Hijrah didorong oleh keadaan buruk yang tidak mungkin dipaksakan untuk tetap bertahan.
2. Adanya kepastian bahwa tujuan hijrah adalah tempat atau keadaan yang lebih baik dari yang saat ini ditempati, bukan yang sama saja apalagi lebih buruk.
3. Memutuskan atau meninggalkan tempat atau keadaan yang buruk harus dengan tujuan untuk memaksimalkan kebaikan di tempat atau keadaan yang baru.
3. Hijrah harus dilandasi oleh niat karena Allah SWT semata. Bukan ditujukan untuk mendapatkan hal-hal lain yang bertumpu pada syahwat belaka.
Berangkat dari pandangan di atas, menjelmalah hijrah menjadi sebuah misi agung atas nama keyakinan yang didasari keikhlasan guna meraih Ridha Allah SWT. Dari sini justru muncul perasaan menggelitik ketika melihat betapa kata hijrah telah diumbar sesuka jidat untuk memaknai sesuatu yang sekedar pindah.
Pindah rumah, pindah kerja, sampai orang yang jelas-jelas kutu loncat, pindah dari ketek satu ke ketek lain, dengan bangga menyebut dirinya sedang berhijrah. Subhanallah! Pokoknya, sedikit-sedikit hijrah!? Tidak malukah kita terhadap Baginda Nabi dengan mengutip kata hijrah hanya untuk bergaya atau bahkan candaan.
Puter otak saya mencari urgensi dan esensi hijrah dalam kapasitas pribadi. Hijrah bukan perkara asal. Dia termasuk 3 pilar agama. Iman, hijrah, dan jihad yang penunaiannya harus didasari alasan pasti dan pelaksanaannya mesti sepenuh hati agar bernilai ibadah. Karenanya, bagi saya banyak hal yang harus jelas terlebih dahulu.
Terdengar sekedar alibi untuk mengelak layaknya alasan anak gadis yang enggan berhijab, tapi, masa iya sih, kita berhijrah padahal kita berada di tempat yang baik, dimana hal paling tepat adalah memperbaiki bukan meninggalkan? Apa harus tetap hijrah jika tempat tujuannya belum jelas? Terakhir, niat ikhlaskah atau sekedar nafsu duniawi yang kita bawa dalam berhijrah?
Menjawab tanya pribadi sekaligus mencari batasan sejauh mana kepatutan kita menggunakan kata hijrah, ada baiknya kita menggunakan parameter baik dan buruk.
Untuk diri sendiri, Baik itu samar dan buruk itu jelas. Karenanya, jangan mudah menilai diri sudah baik. Sedikit saja buruk muncul segera perbaiki dan teruslah berusaha menjadi lebih baik karena baik itu samar.
Untuk orang lain, Buruk itu samar dan baik itu jelas. Oleh karena itu, jangan mudah menilai buruk orang lain. Lihatlah dengan jeli bahwa baik mereka sangat jelas. Sekilas saja ada baiknya, sikapi dengan bijak buruknya. Karena buruk mereka sangat samar.
Intinya, tetaplah memperbaiki diri, karena esensi hijrah adalah memperbaiki diri dan tidak melulu terkait perpindahan tempat. Baik dan buruk adalah dua situasi yang menyebabkan kita mengambil keputusan untuk hijrah. Dengan cara pandang seperti di atas, semoga kita bisa lebih peka menilai tingkatan baik dan buruk dalam diri kita sehingga mampu memutuskan kapan harus berhijrah dan tidak seenaknya dengan bangga menyebut segala perubahan dalam diri dengan sebutan hijrah.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya