Penilai Sebagai Profesi III

Integritas Modal Utama Penilai
Menjadi seorang penilai bukan hal yang ,udah dan tak bisa asal-asalan. Bukan semata proses pendidikannya yang cukup bikin pusing, tapi proses pekerjaannya juga bisa buat puyeng. Setelah seseorang lulus pendidikan penilai sampai tingkat lanjutan (PLP) dan mendapat sertipikat dari MAPPI, barulah dia diperkenankan melakukan kegiatan penilaian dengan aturan baku yang ada pada Standar Penilaian Indonesia (SPI). Di sinilah ujian yang sebenarnya dimulai.

Paling umum, seseorang lulus menjadi seorang penilai dan tergabung pada sebuah Kantor Jasa Penilaian Publik atau KJPP akan berhubungan dan saling ketergantungan dengan pihak Bank. Penilai dan KJPP perlu order atas pekerjaan penilaian sekaligus kelangsungan eksistensi mereka, sedangkan bank butuh hasil penilaian terkait aset yang akan diagunkan nasabah. Hal tersebut tak lain guna kepentingan analisis resiko kredit yang akan diberikan.

Dengan penilaian yang tepat terhadap aset agunan, diharapkan bank tidak mengalami kerugian jika kredit akhirnya macet dan harus diselesaikan dengan penjualan aset yang diagunkan.

Di balik dua pihak tersebut sebenarnya ada satu pihak yang paling berpengaruh dalam urusan penilaian. Dia adalah nasabah pembiayaan. Sebagai pemilik aset yang hendak diagunkan, keberadaan nasabah sangat sentral karena sejatinya, order penilaian tak mungkin muncul tanpa pengajuan kredit yang dilakukannya.

Semua akan berjalan sebagaimana mestinya jika kedua belah pihak paham fungsi masing-masing dan keduanya benar-benar hendak mencari nilai objektif dari sebuah aset. Sebaliknya, Kisruh akan terjadi jika fakta lapangan ternyata:

1. Nasabah ingin nilai asetnya jauh lebih besar dari kepantasan dia mendapatkan pinjaman dari Bank, 2. Bank menginginkan nilai aset disesuaikan dengan nilai pinjaman yang diajukan. Nilai aset bisa diminta ditinggikan manakala mereka butuh pengajuan kredit nasabah disetujui guna target tertutupi, 3. Penilai / KJPP perlu membuka jaringan / klien baru atau menjaga relasi lama demi kelangsungan pekerjaan mereka.

Ini merupakan konflik kepentingan serius dan ada resiko penghentian kerjasama jika salah satu diantara bank dan pemilik aset merasa dikecewakan. Resiko bisa lebih besar karena yang ditangani seorang penilai profesional / penilai publik bukanlah nasabah sembarangan.

Nasabah pembiayaan yang mereka nilai asetnya biasanya dengan nominal pengajuan 5 milyar rupiah ke atas sebagaimana yang dijelaskan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 13/13 /PBI/2011 Pasal 45, kewajiban dinilainya aset oleh penilai independen (penilai profesional) hanya apabila pembiayaan yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah lebih dari Rp. 5. 000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Dilema besar pastinya menimpa penilai / KJPP. Di satu sisi mereka butuh pekerjaan dan di sisi lain sebagai penilai kode etik harus tetap dijaga. Penilai di negeri ini harus melakukan setiap tugas penilaian dengan tunduk kepada Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI).

Merujuk pada hakikat tugas penilai adalah mencari kebenaran dalam bentuk nilai yang layak atas sebuah aset yang mereka nilai, memutuskan jalan mana yang mereka ambil seharusnya sangatlah mudah. Mencari sikap mana yang benar antara menerima tawaran untuk menaikan nilai aset dengan iming-iming atau amang-amang dan memberikan penilaian se-objektif mungkin sangat mudah dan jelas terlihat jika prinsip integritas sebagai seorang penilai benar-benar dipegang.

Namun, fakta lapangan ternyata tak semudah itu. Penilai sejati harus bergulat dengan kenyataan biaya sewa kantor, bayar karyawan, biaya survey, administrasi, marketing, dan seabreg biaya lainnya. Bagi beberapa KJPP yang sudah mapan dan punya daya tawar yang cukup kuat, mungkin pemutusan kerjasama satu atau dua klien tak akan berpengaruh besar. Akan sangat berbeda jika hal tersebut menimpa banyak KJPP yang masih sepi orderan.

Karenanya, diperlukan pengertian dan kesepahaman antara semua pihak untuk membantu penilai atau sebuah KJPP agar tetap pada porsinya dalam membuat penilaian yang objektif. Ingat, ini profesi! Bukan hobi!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya