Do'a dan Kesungguhan

Salam..
Banyak hal yang terlewatkan di awal tahun ini seiring dengan ikut berpartisipasinya saya dalam kehebohan istri mengejar deadline kerjaan isengnya sebagai ghostwriter dan berkunjungnya kasih sayang Allah SWT bernama flu tiga hari belakangan ini. Alhamdulillah, ketemu juga kesempatan untuk nulis kembali. Sekedar kembali belajar dan berbagi uraian yang jauh dari kesempurnaan.
Sebagaimana umumnya kita, awal tahun selalu dimulai dengan semangat baru dan bermulanya harapan bahwa hal yang lebih baik akan mengisi hari-hari kita di 12 bulan ke depan. Entah itu sekedar cita-cita yang dengan lantang kita sebut resolusi atau memang visi yang dirintis dengan kesungguhan hati, disusun secara terencana, dan dituju melalui usaha pasti, silahkan saja. Tentunya, yang kita tuai adalah yang kita sebar, dan di sanalah terletak esensi dari dua hal yang tak terpisahkan bernama, “Do’a dan Kesungguhan”.
Bernasehat untuk diri sendiri, betapa damainya kita seraya tetap memanjat do’a dan bernaung kepada sebuah firman suci, “.. Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. ..” (Q.S, 40:60), dengan tetap berdamai pula kepada kebiasaan yang sama sekali tidak menunjang untuk terwujudnya do’a tersebut.
Rasio dan agama sekalipun tak pernah mengajarkan sebuah permohonan tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh. Beribu kali kita minta kenaikan upah kepada majikan kita, tak pernah akan naik bayaran kita jika kinerja yang kita berikan masih biasa-biasa saja atau bahkan terus menurun. Pun dengan sebuah do’a. Tak akan hadir permohonan kita tanpa ada langkah kita menjemputnya, “.. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...” (Q.S, 13 : 11) Harus ada usaha nyata untuk menghadirkan apa yang kita harapkan.
Lantas, dimana peran do’a jika segala sesuatu harus diraih melalui usaha? Bukankah rasio menunjukan cukuplah ikhtiar bersungguh-sungguh untuk meraih harapan kita.
Rasio sebelumnya justru menjelaskan, tunjukan kinerja baik lalu mintalah kenaikan upah. Do’a seolah penjelasan dari hasrat yang kita tampilkan melalui apa yang kita lakukan. Sebutlah do’a sebagai alat komunikasi terhadap pemilik kewenangan yang kuasa terhadap nasib kita dengan maksud lebih cepatnya do’a terwujud atau semakin dekatnya hubungan.
Lebih jelas lagi mengenai posisi do’a, Rasulullah SAW bersabda, “Ikat untamu lalu bertawakalah kepada Allah SWT.” Do’a diterjemahkan oleh sebuah ikhtiar, bukan sekedar permohonan dengan harapan keajaiban selalu menyertai di setiap langkah kita. Siapa kita sampai pantas menerima segala kemurahan tanpa harus ada usaha. Pantaskan diri lalu komunikasikan melalui do’a. Pernahkah ada seseorang memberi uang tanpa sebab. Tidak! Untuk orang miskin sekali pun, dia atau kondisi yang telah menempatkannya di posisi untuk layak menerima.
Jika tadi menampik pandangan bahwa hanya usaha yang mendatangkan apa yang kita harapkan. Di sini kita diajarkan tentang bagaimana do’a tidak semestinya dianggap sebagai jalan utama menuju yang dicitakan. Apa kita mau menerima sesuatu sekedar sebab kondisi yang menempatkan di posisi layak. Semoga tidak, sebagai mahluk yang diberikan potensi untuk berusaha, muliakanlah diri kita dengan mendapatkan apa yang kita harapkan melalui sebuah ikhtiar.
Waalahualam.. Semoga kesungguhan mengantar kepada do’a yang kita panjatkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya