Ini Kenapa Suami Sesekali Harus Pergi ke Pasar

Foto: Pasar Kaget 46 Cipadung

Pagi itu, aku pergi ke ATM untuk mengambilkan uang di rekening istri yang sedang kurang semangat ke luar rumah karena merasa lemas dan kurang enak badan. Sesampai di mesin ATM, langsung saja ku ambil sejumlah uang yang dipesankan istri untuk diambil. Tak ada masalah. Transaksi lancar dan uang keluar seiring berkurangnya jumlah saldo dari sebelumnya, tentu saja.

Tapi tunggu, aku sedikit kaget dengan saldo yang tertera di struk pengambilan. What! Baru transfer untuk belanja 3 hari yang lalu, saldo di rekening istri sudah minus kurang lebih 600rb rupiah. Maaf ya, gaya hidup kami tergolong biasa saja. Jadi, jumlah itu cukup berarti dalam menyambung indahnya kehidupan kami..hiks Telebih, jeda 3 hari dari aku transfer uang itu bukanlah weekend yang artinya istriku belum sempat kemana-mana. Ya.. karena dia hampir nggak bisa pergi ke luar tanpa aku. Cie...panjang.

Kok bisa uangnya sudah berkurang banyak, ya? Mmh.. pasti belanja online lagi atau overbudget belanja di warung, kayaknya. Ah, apa harus sampai aku yang merinci penggunaan uang rumah tangga, pikir kesalku terus berlanjut sejalan laju sepeda motor yang berjalan membawaku pulang ke rumah.

Sedikit menahan rasa kesal, aku singgah dulu ke warung sayuran dekat rumah untuk membeli beberapa keperluan makan siang. Sekedar jaga-jaga istriku tak ada stok bahan makanan di rumah. Suasananya cukup ramai. Wajar sih, karena warung Bu Haji memang lengkap dengan lokasi yang cukup strategis dan nyaman.

Tak banyak yang aku beli. Hanya untuk bahan makan siang saja. Parahnya, insiden ATM tadi yang masih mengganjal semakin memacuku untuk memperlihatkan bagaimana gaya hidup pelit sama istriku. Eh.. gaya hidup irit maksudnya.

Mmh... Belanja sedikit ternyata tetap juga harus menunggu cukup lama untuk dilayani. Terlihat Bu Haji masih menghitung jumlah belanjaan seorang ibu-ibu yang memang agak banyak. Ngintip sedikit, belanjaannya terdiri dari dua kantong keresek penuh berukuran besar. Entah berapa jumlah anggota keluarga Si Ibu sampai belanja sebanyak itu. Namun, kalaupun banyak, dipastikan Si Ibu bukan belanja bulanan. Karena belanjaannya adalah bahan makanan yang tak akan tahan dalam waktu satu bulan. Ya, paling banter untuk stok satu minggu saja.

Selang beberapa saat, selesai juga Bu Haji, pemilik warung, menghitung jumlah belanjaan Si Ibu. Dan saat Si Ibu bertanya, "Berapa jumlahnya, Bu?" Jawaban Bu Haji membuatku menelan ludah. "Rp. 631.000,-, Bu." Catet! Tanpa raut muka kaget, dengan biasa saja Si Ibu memberikan enam lembar uang seratus ribuan. Aneh, yang kaget malah aku yang berdiri di sebelahnya. "Bu Haji, sisanya nanti dianter anak saya, ya. Tadi kepake beli pulsa," tutup Si Ibu sambil mengangkat belanjaannya ke motor. "Iya, nanti lagi aja. Nggak apa-apa," jawab Bu Haji dengan wajah sumringah yang kayaknya ridha kalaupun tuh uang Rp. 31.000,- dicicil tiga minggu.

"Luar biasa," aku bergumam. Bukan karena takjub sama belanjaan Si Ibu, ya.  Saya serasa kontan diberi penawar kesal yang tadi sempat penuh menyesaki dada akibat istri yang diduga tak bisa berhemat. Seiring rasa kesal sama istri yang mulai sirna, sepenggal fragmen kehidupan di warung tadi seolah kembali memperlihatkan bahwa transformasi uang ke barang sudah sangat mudah bahkan tanpa kita sadar dan ingin tapi harus. Uang sekarang seperti sudah jatuh nilai tukarnya. Yang suka belanja pastilah tahu tentang itu.

Sayangnya, belanja atau pergi ke pasar seolah sudah menjadi tugas khusus perempuan dan jarang seorang suami mau melakukannya, bahkan untuk sekedar menemani istri memasuki gang-gang becek penuh orang di pasar tradisional pun, jarang suami yang mau. Nggak harus seperti itu juga sih, banyak tempat belanja dengan konsep yang lebih rapi. Namun, jika ingin sensasi lebih, pasar tradisional bisa sesekali dicoba.

Akan banyak pengalaman baru di sana bagi para pemula. Istriku yang awalnya jarang ke pasar sering senyum lebar kala menemui harga barang yang lebih murah dari warung atau supermarket. Tapi jangan salah, aku pun sempat juga tercengang saat istriku belanja bumbu dapur di satu kios saja dengan jumlah 60 ribuan. Halo... uang segitu itu hanya untuk bumbu-bumbuan!? Itulah, tapi jika daftarnya dirunut, emang jumlahnya segitu, sih. (huf.. hanya bisa merengut menerima getirnya kenyataan).

Baiklah, daripada dimusuhi bapak-bapak, sebenarnya pesan dari cerita di atas tak lain adalah, jika seorang suami tak awam soal urusan belanja, kesalahpahaman dalam pengelolaan dana rumah tangga bisa diminimalisir dan dia bisa lebih maklum soal kebutuhan rumahan. Jangan sampai, kita sebagai suami cuek hanya karena merasa telah menyetor uang ke isteri tapi ngomel dan nggak percaya dalam penggunaannya. Kecuali jika limit jatah belanja untuk istrinya tak berbatas, ya.

Sedangkan, untuk ukuran aku yang cash flownya dalam pengawasan, rasionalisasi penggunaan uang jelas masih diperlukan. Karenanya, saling koreksi penggunaan tetap perlu dilakukan. Mau gimana lagi, selain untuk mengamankan berjalannya peradaban per bulan, sampai saat ini kami juga masih berjuang memecahkan sebuah misteri besar kehidupan. Ya, misteri tentang kenapa kebutuhan terus saja mengikuti pendapatan. Mmh... Membingungkan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya